Thursday, May 14, 2015

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Saudara muslimku calon penghuni sorga, kali ini kita akan membahas tentang Hukum Waris dalam Islam. Semoga artikel ini bermanfaat, aamiin.

Hukum Waris dalam Islam


Hukum waris adalah hukum yang mengatur mengenai kewarisan. Dalam sitematika hukum perdata, hukum waris terdapat pada buku ketiga (mengenai kebendaan). Kebanyakan orang awam salah kaprah atau sering salah dalam menggunakan istilah warisan, pewaris, waris, dan pakar waris. Dalam kamus Bahasa Indonesia, Warisan adalah sesuatu yang diwariskan. Pewaris adalah orang yang mewariskan (yang meninggal). Waris adalah orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Ahli waris adalah orang yang berhak menerima warisan.

Ada perbedaan antara waris dan pakar waris. Waris adalah orang yang menerima harta peninggalan, sedangkan pakar waris tidak hanya menerima harta peninggalan, tetapi juga termasuk hutang-hutang yang ditinggalkan si pewaris (aktivaa dan pasiva).

Warisan terbuka untuk dibagikan begitu yang mempunyai harta meninggal dunia. Apabila yang meninggal dunia adalah orang Islam, maka hukum waris Islam berlaku. Apabila yang meninggal bukan penganut Islam, maka hukum waris perdata yang diberlakukan.

Adapun jenis pakar waris ada 2, yaitu pakar waris menurut undang-undang dan pakar waris testamenter. Ahli waris menurut undang-undang adalah orang yang berhak menerima warisan berdasar hukum perdata. Sedangkan pakar waris testamenter adalah orang yang ditunjuk dalam surat wasiat yang ditunjuk oleh sang pewaris untuk menjadi pakar waris (testamen: kehendak terakhir).
Hukum Waris dalam Islam

Apabila seorang pewaris membuat lebih dari satu surat wasiat, maka surat wasiat yang diakui dan mempunyai kekuatan hukum adalah surat wasiat yang terakhir.

Dalam pembagian harta warisan, diberlakukan asas Legitime Portie, yaitu jumlah mutlak yang harus didapatkan oleh pakar waris lurus (anak-anak si pewaris).

  • apabila si pewaris mempunyai 1 anak, maka bagian untuk anaknya adalah 1/2 bagian
  • apabila si pewaris mempunyai 2 anak, maka bagian untuk seluruh anak-anaknya adalah 2/3 bagian -apabila si pewaris mempunyai 3 anak, maka bagian untuk seluruh anak-anaknya adalah 3/4 bagian
  • dan seterusnya


Misal dalam kasus pembagian harta warisan, si pewaris meninggalkan 3 orang anak dan 1 orang isteri, maka berlaku 3/4 bagian untuk seluruh anak-anaknya (masing-masing 1/4 bagian) dan sisanya adalah bagian istri.

Dalam kasus lain, si pewaris meninggalkan 3 orang anak, 1 orang isteri dan menunjuk 1 orang pakar waris testamenter untuk mendapatkan 1/2 bagian hartanya, maka berlaku 3/4 bagian untuk seluruh anak-anaknya (asas legitime portie tidak dapat dilanggar) dan 1/4 bagian untuk pakar waris testamenter, sedangkan isteri tidak mendapatkan apa-apa.

Seorang pakar waris dapat kehilangan haknya sebagai pakar waris apabila dia berlaku kurang senonoh kepada pewaris dan pewaris menghendaki pencabutan hak pakar waris.

Dalam keadaan tertentu, seorang pakar waris juga dapat menolak hak pakar warisnya. Misal dalam satu kasus, pewaris meninggalkan hutang yang jumlahnya lebih besar dari harta warisannya, maka pakar waris berhak mengajukan penolakan hak atas harta warisan kepada panitera pengadilan negeri setempat. Penolakan hak dapat dilakukan dengan catatan pakar waris belum memanfaatkan harta warisan.

Secara lbih rinci, besar kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing ahli waris dapat dijabarkan seperti berikut ini:


Pembagian harta waris dalam islam telah ditetukan dalam al qur an surat an nisa secara gamblang dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6 tipe persentase pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah  (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6), mari kita bahas satu per satu

Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris separoh (1/2):


  1. Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri dengan syarat dia tidak mempunyai keturunan anaklaki -laki atau perempuan, meskipun keturunan itu tidak berasal dari suaminya kini (anak tiri).
  2. Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat: pewaris tidak mempunyai anaklaki -laki, dan anak itu adalah anak tunggal.
  3. Cucu perempuan dari keturunan anaklaki -laki dengan 3 syarat: apabila cucu itu tidak mempunyai anaklaki -laki, ia adalah cucu tunggal, dan jika pewaris tidak lagi mempunyai anak perempuan ataupun anaklaki -laki.
  4. Saudara kandung perempuan dengan syarat: dia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara lain) baik perempuan atau laki-laki, dan pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek ataupun keturunan baik laki-laki atau perempuan.
  5. Saudara perempuan se-ayah dengan syarat: Apabila dia tidak mempunyai saudara (hanya seorang diri), pewaris tidak mempunyai saudara kandung baik perempuan atau laki-laki dan pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek dan katurunan.


Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris seperempat (1/4): yaitu seorang suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula sebaliknya

  1. Seorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memilki anak atau cucu dari keturunanlaki -lakinya, tidak peduli apakah cucu itu dari darah dagingnya atau bukan.
  2. Seorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak mempunyai anak atau cucu, tidak peduli apakah anak itu adalah anak kandung dari istri itu atau bukan.


Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris seperdelapan (1/8): yaitu istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang mempunyai anak atau cucu, baik anak itu berasal dari rahimnya atau bukan.

Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris duapertiga (2/3):

  1. Dua orang anak kandung perempuan atau lebih, dimana ia tidak mempunyai saudaralaki -laki (anaklaki -laki dari pewaris).
  2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anaklaki -laki dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak kandung, dan dua cucu itu tidak mempunyai saudaralaki -laki
  3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak, baiklaki -laki atau perempuan, pewaris tidak juga memiliki ayah atau kakek, dan dua saudara perempuan itu tidak mempunyai saudaralaki -laki.
  4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek. ahli waris yang dimaksud tidak mempunyai saudaralaki -laki se-ayah. Dan pewaris tidak mempunyai saudara kandung.


Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris sepertiga (1/3):

  1. Seorang ibu dengan syarat, Pewaris tidak mempunyai anak atau cuculaki -laki dari keturunan anaklaki -laki. Pewaris tidak mempunyai dua atau lebih saudara (kandung atau bukan)
  2. Saudara laki -laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan syarat pewaris tidak mempunyai anak, ayah atau kakek dan jumlah saudara seibu itu dua orang atau lebih.







Sunday, May 10, 2015

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Saudara muslimku calon penghuni sorga, kali ini kita akan membahas tentang Hak dan Kewajiban Suami terhadap Istri dan Anak menurut Islam. Semoga artikel ini bermanfaat, aamiin.

Hak dan Kewajiban Suami terhadap Istri dan Anak menurut Islam

Sejauh mana standar keilmuan dan keagmaan yang seharusnya dimiliki suami? Suami adalah pemimpin dalam rumah tangga dan bertanggung jawab pada mereka. Apakah misalnya jika isteri atau anak-anak melakukan perkara yang melanggar syariat, maka suami ikut berdosa dan berhak menerima azab dari Allah sebab dia tidak menunaikan amanah?

"Seorang suami adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan ditanya mengenai orang-orang yang dipimpinnya." Sebagaimana hadits shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Maka ia bertanggung jawab untuk mendidiknya dan mendidik isterinya serta anak-anaknya. Siapa yang lalai dalam hal ini, lalu sang isteri dan anak-anaknya berbuat maksiat, maka ia berdosa, sebab sebabnya adalah sebab dia tidak mendidik dan mengajarkan mereka. Jika ia tidak lalai dalam mendidik anak dan lalu keluarganya melakukan sebagian kemaksiatan, maka ia tidak berdosa. Akan tetapi, ia tetap diwajibkan mengingatkan mereka setelah terjadi kemaksiatan itu agar mereka meninggalkan perkara-perkara yang bertentangan dengan syariat.

Syekh Saleh Al-Fauzan hafizhahullah berkata, "Pendidikan pada anak-anak hendaknya dimulai pada usia mumayyiz. Awali dengan pendidikan agama, berdasar sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yang artinya : "Perintahkan anak-anak kalian untuk shalat pada usia tujuh tahun dan pukullah pada usia sepuluh tahun. Pisahkan tempat tidur di antara mereka." (HR. Abu Daud)
Hak dan Kewajiban Suami terhadap Istri dan Anak  menurut Islam

Jika sang anak telah mencapai usia tamyiz, maka saat itu, bapaknya diperintahkan untuk mengajarkannya dan mendidiknya dengan cara mengajarkannya Al-Quran dan beberapa hadits-hadits. Juga hendaknya ia mengajarkan sang anak hukum-hukum syariat yang cocok dengan usia anak-anak, misalnya mengajarkannya bagaimana berwudu, bagaimana shalat, lalu mengajarkannya zikir untuk tidur, saat bangun tidur, saat makan, minum. Karena, jika anak sudah mencapai usia tamyiz, maka ia sudah dapat memahami perintah dan larangan. Kemudian hendaknya ia juga dilarang dari perkara-perkara yang tidak layak sambil menjelaskan bahwa hal-hal itu tidak dibolehkan melakukannya, seperti dusta, namimah, dan lainnya. Sehingga ia terdidik dengan benar dan meninggalkan keburukan sejak kecil. Ini perkara yang sangat penting dan sering dilalaikan sebagian orang tua.

Banyak orang-orang yang tidak memperdulikan urusan anak-anaknya dan tidak memberinya arahan yang benar. Mereka biarkan saja anaknya tidak mengerjakan shalat tanpa mengarahkannya. Mereka biarkan anaknya tumbuh dalam kebodohan dan perbuatan yang tidak baik serta bergaul dengan orang-orang buruk, hilir mudik di jalan-jalan dan mengabaikan pelajaran mereka atau perbuatan-perbuatan negatif lainnya yang terjadi di tengah para pemuda muslim akibat kelalaian orang tuanya. Mereka akan ditanya mengenai masalah ini, sebab Allah menyerahkan tanggung jawab pada anak-anaknya di pundak mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat pada saat usia mereka tujuh tahun, dan pukulah mereka pada usia sepuluh tahun." Ini adalah perintah dan tugas bagi orang tua. Maka siapa yang tidak memerintahkan anak-anaknya melakukan shalat, ia telah bermaksiat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan melakukan perbuatan yang diharamkan serta meninggalkan kewajiban yang diperintahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan ditanya mengenai orang-orang yang ia pimpin." (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebagaian orang tua, ironisnya, sibuk dengan urusan dunianya dan tidak memperdulikan anak-anaknya. Mereka tidak menyisihkan waktunya untuk anak-anaknya. Akan tetapi seluruh waktunya hanya untuk dunia. Ini adalah bahaya yang besar dan banyak terjadi di negeri-negeri Islam yang akibatnya sangat negatif pada pendidikan anak-anak mereka. Maka sesungguhnya mereka tidak mendapatkan kebaikan, baik untuk agama atau dunianya. Laa haula wa laa quwwata illa billahil'aliyyil aziim.


Berikut ini adalah beberapa hak dan kewajiban suami pada isteri dan anaknya :

A. Kewajiban Suami

  1. Memberi nafkah keluarga agar terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan.
  2. Membantu peran istri dalam mengurus anak
  3. Menjadi pemimpin, pembimbing dan pemelihara keluarga dengan penuh tanggung jawab demi kelangsungan dan kesejahteraan keluarga.
  4. Siaga / Siap antar jaga saat istri sedang mengandung / hamil.
  5. Menyelesaikan masalah dengan bijaksana dan tidak sewenang-wenang
  6. Memberi kebebasan berpikir dan bertindak pada istri sesuai ajaran agama agar tidak menderita lahir dan batin.


B. Hak Suami

  1. Isteri melaksanakan kewajibannya dengan baik sesuai ajaran agama seperti mendidik anak, menjalankan urusan rumah tangga, dan sebagainya.
  2. Mendapatkan pelayanan lahir batin dari istri
  3. Menjadi kepala keluarga memimpin keluarga



Sumber :
islamqa.info
promosinet.com





Friday, May 1, 2015

اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Saudara muslimku calon penghuni sorga, kali ini kita akan membahas tentang Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a.. Semoga artikel ini bermanfaat, aamiin.

Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a.


Nabi Muhammad saw. Tidak meninggalkan wasiat mengenai siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan itu kepada kaum Muslimin untuk menentukannya sendiri. Kaena itu, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Ashor Berkumpul di balaikota Bani Sa’dah, Madinah.

Mereka memusyawarahkan siapa yang akan menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot sebab masing-masing pihak, baik pihak Muhajirin atau Anshar merasa berhak menjadi pemimpin Umat Islam, namun dengan semangat ukhuwah Islamiyah tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih melalui musyawarah itu.

Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib adalah Khalifah keempat setelah Khalifah Usman Ibnu Affan. Nama lengkap beliau adalah Ali Ibnu Abi Thalib Ibnu Abdul Muthalib Ibnu Hasyim Ibnu Abdi Manaf. Beliau lahir 32 tahun setelah kelahiran Rosulullah Saw. Dan beliaupun termasuk anak asuh Nabi Muhammad Saw. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib boleh dibilang tangan kanan Nabi Muhammad Saw, saat di Madinah.

Proses pengangkatan beliau sebagai Khalifah yang mula-mula di tolak oleh beliau sebab situasi yang kurang tepat yang banyak terjadi kerusuhan disana sini. Dan sebab waktu itu masyarakat butuh pemimpin akhirnya sebab desakan masyarakat untuk menjadikan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menjadi pemimpin pun akhirnya diterima. Pada tanggal 23 juni 656 Masehi, beliau resmi menjadi Khalifah.

Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a.Yang menjadi catatan bagi sosok khalifah seperti Ali Bin Abi Thalib adalah pribadinya yang pernah menolak jadi Pemimpin Islam sebagaimana dikutif pada uraian di atas. Olehnya itu, jika dibawa pada konteks kekinian, maka sangat sulit kita mendapatkan sosok manusia yang menolak jadi pemimpin, bahkan yang terjadi saat ini adalah kecenderungan untuk bersaing dan saling merebut kekuasaan hingga pertumpahan dara atau menjual aqidah demi kekuasaan.

Sosok Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a.

Ali Bin Abu Thalib bin Abdul Muththalib, bin Hasyim, bin Abdi Manaf, bin Qushayy. Ibunya adalah: Fathimah binti Asad, bin Hasyim, bin Abdi Manaf. Saudara-saudara kandungnya adalah: Thalib, 'Uqail, Ja'far dan Ummu Hani.

Dengan demikian, jelaslah, Ali adalah berdarah Hasyimi dari kedua ibu-bapaknya. Keluarga Hasyim mempunyai sejarah yang cemerlang dalam masyarakat Mekkah. Sebelum datangnya Islam, keluarga Hasyim terkenal sebagai keluarga yang mulia, penuh kasih sayang, dan pemegang kepemimpinan masyarakat. Ibunya adalah Fathimah binti Asad, yang lalu menamakannya Haidarah. Haidarah adalah salah satu nama singa, sesuai dengan nama ayahnya: Asad (singa). Fathimah adalah salah seorang wanita yang terdahulu beriman dengan Risalah Nabi Muhammad Saw. Ia pula-lah yang telah mendidik Nabi Saw, dan menanggung hidupnya, setelah meninggalnya bapak-ibu beliau, Abdullah dan Aminah. Beliau lalu membalas jasanya, dengan menanggung kehidupan Ali, untuk meringankan beban pamannya, Abu Thalib, pada saat mengalami kesulitan ekonomi. Saat Fathimah meninggal dunia, Rasulullah Saw yang mulai mengkafaninya dengan baju qamisnya, meletakkannya dalam kuburnya, dan menangisinya, sebagai tangisan seorang anak atas ibunya. Dan sebab penghormatan beliau kepadanya, maka beliau menamakan anaknya yang tersayang dengan namanya: Fathimah. Darinyalah lalu mengalir nasab beliau yang mulia, yaitu anak-anaknya: Hasan, Husein, Zainab al Kubra dan Ummu Kultsum.

Haidarah adalah nama Imam Ali yang dipilihkan oleh ibunya. Namun ayahnya menamakannya dengan Ali, sehingga ia terkenal dengan dua nama itu, walaupun nama Ali lalu lebih terkenal. Anak-anaknya adalah: Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, dari Fathimah binti Muhammad saw., seorang isteri yang tidak pernah diperlakukan buruk oleh Ali r.a. selama hidupnya. Bahkan Ali tetap selalu mengingatnya setelah kematiannya. Dia juga mempunyai beberapa orang anak dari isteri-isterinya yang lain, yang dia kawini setelah wafatnya Fathimah r.a. Baik isteri dari kalangan wanita merdeka atau hamba sahaya. Yaitu: Muhsin, Muhammad al Akbar, Abdullah al Akbar, Abu Bakar, Abbas, Utsman, Ja'far, Abdullah al Ashgar, Muhammad al Ashghar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al Awsath, Ummu Hani, Maimunah, Rahmlah ash Shugra, Zainab ash Shugra, Ummu Kaltsum ash Shugra, Fathimah, Umamah, Khadijah, Ummu al Karam, Ummu Salmah, Ummu Ja'far, Jumanah, dan Taqiyyah.

Kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib r.a.

Setelah ‘Utsman ra. syahid, Ali ra. diangkat menjadi khalifah ke-4. Awalnya beliau ra. menolak, namun akhirnya beliau ra. menerimanya. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Muhammad bin Al-Hanafiyah berkata: .....Sementara orang banyak datang di belakangnya dan menggedor pintu dan segera memasuki rumah itu. Kata mereka: "Beliau (Utsman ra.) telah terbunuh, sementara rakyat harus punya khalifah, dan kami tidak mengetahui orang yang paling berhak untuk itu kecuali anda (Ali ra.)". Ali ra. berkata kepada mereka: "Janganlah kalian mengharapkan saya, sebab saya lebih senang menjadi wazir (pembantu) bagi kalian daripada menjadi Amir". Mereka menjawab: "Tidak, demi Allah, kami tidak mengetahui ada orang yang lebih berhak menjadi khalifah daripada engkau". ‘Ali ra. menjawab: "Jika kalian tidak menerima pendapatku dan tetap ingin membaiatku, maka baiat itu hendaknya tidak bersifat rahasia, tetapi aku akan pergi ke masjid, maka siapa yang bermaksud membaiatku maka berbaiatlah kepadaku". Pergilah ‘Ali ra. ke masjid dan orang-orang berbaiat kepadanya.

Dalam Tarikh Al-Ya’qubi dikatakan: ‘Ali bin Abi Thalib (ra.) menggantikan ‘Utsman sebagai khalifah... dan ia (ra.) dibaiat oleh Thalhah (ra.), Zubair (ra.), Kaum Muhajirin dan Anshar (radhiyaLlahu anhum). Sedangkan orang yang pertama kali membaiat dan menjabat tangannya adalah Thalhah bin Ubaidillah (ra.).

Imam Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmidzy mentakhrij hadits berasal dari Safinah ra., dia berkata: Aku mendengar RasuluLlah saw. bersabda:
Kekhilafahan berlangsung selama 30 tahun dan setelah itu adalah kerajaan.” Safinah ra. berkata: “Mari kita hitung, Khilafah Abu Bakar ra. berlangsung 2 tahun, Khilafah ‘Umar ra. 10 tahun, Khilafah ‘Utsman ra. 12 tahun, dan Khilafah ‘Ali ra. 6 tahun.”
Ali ra. bekerja keras pada masa kekhilafahannya guna mengembalikan stabilitas dalam tubuh umat setelah sebelumnya Ibnu Saba’dan Sabaiyahnya melancarkan konspirasi dan provokasinya guna menghancurkan Islam dari dalam. Pada masa kekepemimpinan Ali ra. ini, Ibnu Saba dan Sabaiyah nya pun kembali melancarkan konspirasi dan makar mereka, sehingga membuat keadaan menjadi semakin rumit. Diriwayatkan bahwa pada akhirnya ‘Ali ra. membakar banyak dari pengikut Sabaiyah ini dan juga mengasingkan Ibnu Saba’ ke Al-Madain.

Sahabat yang lahir dalam keprihatinan dan meninggal dalam Kesunyian. Dialah, khalifah Ali bin Abi Thalib ra. Ali kecil adalah anak yang malang. Namun, kedatangan Muhammad SAW telah memberi seberkas pelangi baginya. Ali, tidak pernah bisa bercurah hati kepada ayahnya, Abi Thalib, selega dia bercurah hati kepada Rasulullah. Sebab, hingga akhir hayatnya pun, Abi Thalib tetap tidak mampu mengucap kata syahadat tanda penyerahan hatinya kepada Allah. Ayahnya tidak pernah bisa merasa betapa nikmatnya saat bersujud menyerahkan diri,kepada Allah Rabb semesta sekalian alam.
Kematian ayahnya tanpa membawa sejumput iman begitu memukul Ali. Kelak dari sinilah, dia kemudian bertekad kuat untuk tidak mengulang kejadian ini buat kedua kali. Dia ingin, saat dirinya harus mati nanti, anak-anaknya tidak lagi menangisi ayahnya seperti tangis dirinya untuk ayahnya, Abi Thalib. Tak hanya dirinya, disebelahnya, Rasulullah pun turut menangisi kenyataan tragis ini...saat paman yang selama ini melindunginya, tidak mampu dia lindungi nanti...di hari akhir,karena ketiaadaan iman di dalam dadanya.

Betul-betul pahit, padahal Ali tahu bahwa ayahnya sangatlah mencintai dirinya dan Rasulullah. Saat ayahnya, buat pertama kali memergoki dirinya sholat berjamaah bersama Rasulullah, dia telah menyatakan dukungannya. Abi Thalib berkata, ""Janganlah kau berpisah darinya (Rasulullah), sebab ia tidak mengajakmu kecuali kepada kebaikan".

Sejak masih berumur 6 tahun, Ali telah bersama dan menjadi pengikut setia Rasulullah. Sejarah kelak mencatat bahwa Ali terbukti berkomitmen pada kesetiaannya. Dia telah hadir bersama Rasulullah sejak awal dan baru berakhir saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Ali ada disaat yang lain tiada. Ali adalah tameng hidup Rasulullah dalam kondisi kritis atau dalam berbagai peperangan genting, saat diri Rasulullah terancam.
Kecintaan Ali pada Rasulullah, dibalas dengan sangat manis oleh Rasulullah. Pada sebuah kesempatan dia menghadiahkan kepada Ali sebuah kalimat yang begitu melegenda, yaitu : "Ali, engkaulah saudaraku...di dunia dan di akhirat..."

Ali, adalah pribadi yang istimewa. Dia adalah remaja pertama di belahan bumi ini yang meyakini kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah. Konsekuensinya adalah, dia kemudian seperti tercerabut dari kegermerlapan dunia remaja. Disaat remaja lain berhura-hura. Ali telah berkenalan dengan nilai-nilai spiritual yang ditunjukkan oleh Rasulullah, baik melalui lisan atau melalui tindak-tanduk beliau. "Aku selalu mengikutinya (Rasulullah SAWW) sebagaimana anak kecil selalu membuntuti ibunya. Setiap hari dia menunjukkan kepadaku akhlak yang mulai dan memerintahkanku untuk mengikuti jejaknya", begitu kata Ali mengenang masa-masa indah bersama Rasulullah tidak lama setelah Rasulullah wafat.

Amirul mukminin Ali, tumbuh menjadi pemuda yang berdedikasi. Dalam berbagai forum serius yang dihadiri para tetua, Ali selalu ada mewakili kemudaan. Namun, muda tidak berarti tidak bijaksana. Banyak argumen dan kata-kata Ali yang lalu menjadi rujukan. Khalifah Umar bahkan pernah berkata,"Tanpa Ali, Umar sudah lama binasa"

Pengorbanannya menjadi buah bibir sejarah Islam. Ali-lah yang bersedia tidur di ranjang Rasulullah, menggantikan dirinya, saat rumahnya telah terkepung oleh puluhan pemuda terbaik utusan kaum kafir Quraisy yang hendak membunuhnya di pagi buta. Ali bertaruh nyawa. Dan hanya desain Allah saja semata, jika lalu ia masih tetap selamat, begitu juga dengan Rasulullah yang saat itu 'terpaksa' hijrah ditemani Abu Bakar seorang.

Keperkasaan Ali tiada banding. Dalam perang Badar, perang pertama yang paling berkesan bagi Rasulullah (sehingga setelahnya, beliau memanggil para sahabat yang ikut berjuang dalam Badar dengan sebutan " Yaa...ahlul Badar..."), Ali menunjukkan siapa dirinya sesungguhnya. Dalam perang itu dia berhasil menewaskan separo dari 70an pihak musuh yang terbunuh. Hari itu, bersama sepasukan malaikat yang turun dari langit, Ali mengamuk laksana badai gurun.

Perang Badar adalah perang spiritual. Di sinilah, para sahabat terdekat dan pertama-tama Rasulullah menunjukkan dedikasinya pada apa yang disebut dengan iman. Mulanya, jumlah lawan yang sepuluh kali lipat jumlahnya menggundahkan hati para sahabat. Namun, doa pamungkas Rasulullah menjadi penyelamat dari jiwa-jiwa yang gundah. Sebuah doa, semirip ultimatum, yang setelah itu tidak pernah lagi diucapkan Rasulullah..."Ya Allah, disinilah sisa umat terbaikmu berkumpul...jika Engkau tidak menurunkan bantuanmu, Islam takkan lagi tegak di muka bumi ini..."
Dalam berbagai siroh, disebutkan bahwa musuh lalu melihat jumlah pasukan muslim seakan tiada batasnya, padahal jumlah sejatinya tidaklah lebih dari 30 gelintir. Pasukan berjubah putih berkuda putih seperti turun dari langit dan bergabung bersama pasukan Rasulullah. Itulah, kemenangan pasukan iman. Dan Ali, menjadi bintang lapangannya hari itu.

Tak hanya Badar, banyak peperangan setelahnya menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani. Di Uhud, perang paling berdarah bagi kaum muslim, Ali menjadi penyelamat sebab dialah yang tetap teguh mengibarkan panji Islam setelah satu demi satu para sahabat bertumbangan. Dan yang terpenting, Ali melindungi Rasulullah yang kala itu terjepit hingga gigi RAsulullah bahkan rompal dan darah mengalir di mana-mana. Teriakan takbir dari Ali menguatkan kembali semangat bertarung para sahabat, terutama setelah melihat Rasululah dalam kondisi kritis.

Perang Uhud walaupun pahit namun sejatinya berbuah manis. Di Uhud, Rasulullah banyak kehilangan sahabat terbaiknya, para ahlul Badar. Termasuk pamannya, Hamzah --sang singa padang pasir. Kedukaan yang tidak terperi, sebab Hamzah-lah yang selama ini loyal melindungi Rasulullah setelah Abi Thalib wafat. Buah manisnya adalah, doa penting Rasulullah juga terkabul, yaitu masuknya Khalid bin Walid, panglima musuh di Perang Uhud, ke pangkuan Islam. Khalid kemudian, hingga akhir hayatnya, mempersembahkan kontribusi besar pada kemenangan dan perkembangan Islam.

Bagi Ali sendiri, perang Uhud makin menguatkan imagi tersendiri pada sosok Fatimah binti Muhammad SAW. Sebab di perang Uhud, Fatimah turut serta. Dialah yang membasuh luka ayahnya, juga Ali, berikut pedang dan baju perisainya yang bersimbah darah.

Juga di perang Khandak. Perang yang juga terhitung genting. Perang pertama yang sifatnya psyco-war. Ali kembali menjadi pahlawan, setelah hanya ia satu-satunya sahabat yang 'berani' maju meladeni tantangan seorang musuh yang dikenal jawara paling tangguh, ‘Amr bin Abdi Wud. Dalam gumpalan debu pasir dan dentingan suara pedang. Ali bertarung satu lawan satu. Rasulullah SAW bahkan bersabda: “Manifestasi seluruh iman sedang berhadapan dengan manifestasi seluruh kekufuran”.

Dan teriakan takbir menjadi pertanda, bahwa Ali menyudahinya dengan kemenangan. Kerja keras Ali berbuah. Kemenangan di raih pasukan Islam tanpa ada benturan kedua pasukan. Tidak ada pertumpahan darah. kegemilangan ini, membuat Rasulullah SAW pada sebuah kesempatan : “Peperangan Ali dengan ‘Amr lebih utama dari amalan umatku hingga hari kiamat kelak”.

Seluruh peperangan Rasulullah diikuti oleh Ali, kecuali satu di Perang Tabuk. Rasulullah memintanya menetap di Mekkah untuk menjaga stabilitas wilayah. Sebab Rasulullah mengetahui, ada upaya busuk dari kaum munafiq untuk melemahkan Mekkah dari dalam saat Rasulullah keluar memimpin perang TAbuk. Kehadiran Ali di Mekkah, walaupun seorang diri, telah berhasil memporakporandakan rencana buruk itu. Nyali mereka ciut, mengetahui ada Ali di tengah-tengah mereka.

Perubahan drastis ditunjukkan Ali setelah Rasulullah wafat. Dia lebih suka menyepi, bergelut dengan ilmu, mengajarkan Islam kepada murid-muridnya. Di fase inilah, Ali menjadi sosok dirinya yang lain, yaitu seorang pemikir. Keperkasaannya yang melegenda telah diubahnya menjadi sosok yang identik dengan ilmu. Ali benar-benar terinspirasi oleh kata-kata Rasulullah, "jika aku ini adalahkota  ilmu, maka Ali adalah pintu gerbangnya". Dari pakar pedang menjadi pakar kalam (pena). Ali begitu tenggelam didalamnya, hingga lalu ia 'terbangun' kembali ke gelanggang untuk menyelesaikan 'benang ruwet', sebuah nokta merah dalam sejarah Islam. Sebuah fase di mana sahabat harus bertempur melawan sahabat.

Strategi Ali Bin Abi Thalib dalam kepemimpinan

Diantara strategi Ali Bin Abi Thalib dalam menegakkan kekhalifaan adalah memeranig Khawarij. Untuk kepentingan agama dan negara, Ali Bin Abi Thali juga menggukan potensi dalam usaha pengembangan Islam, baik perkembangan dalam bidang Sosial, politik, Militer, dan Ilmu Pengetahuan. Berikut ini akan diuraikan mengenai strategi itu;

1. Ali Bin Abi Thalib Memerangi Khawarij
Semula orang-orang yang kelak dikenal dengan khawarij ini turut membaiat ‘Ali ra., dan ‘Ali ra. tidak menindak mereka secara langsung mengingat kondisi umat belumlah kembali stabil, di samping para pembuat makar yang berjumlah ribuan itu pun telah berbaur di Kota Madinah, hingga dapat mempengaruhi hamba sahaya dan orang-orang Badui. Jika Ali ra. bersegera mengambil tindakan, maka bisa dipastikan akan terjadi pertumpahan darah dan fitnah yang tidak kunjung habisnya. Karenanya Ali ra, memilih untuk menunggu waktu yang tepat, setelah kondisi keamanan kembali stabil, untuk menyelesaikan persoalan yang ada dengan menegakkan qishash. Kaum khawarij sendiri pada akhirnya menyempal dari Pasukan Ali ra. setelah beliau melakukan tahkim dengan Muawiyah ra. setelah beberapa saat terjadi perbedaan ijtihad di antara mereka berdua ra. (Ali ra. dan Muawiyah ra.). Orang-orang khawarij menolak tahkim seraya mengumandangkan slogan:
“Tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Tidak boleh menggantikan hukum Allah dengan hukum manusia. Demi Allah! Allah telah menghukum penzalim dengan jalan diperangi sehingga kembali ke jalan Allah.””Ungkapan mereka: ‘Tiada ada hukum kecuali hukum Allah, dikomatahari oleh Ali: “Ungkapan benar, tetapi disalahpahami. Pada akhirnya ‘Ali ra. memerangi khawarij tsb., dan berhasil menghancurkan mereka di Nahrawan, di mana nyaris seluruh dari orang Khawarij tsb berhasil dibunuh, sedangkan yang terbunuh di pihak Ali ra. hanya 9 orang saja.

2. Upaya Pengembangan dalam Bidang Pemerintahan
Situasi ummat Islam pada masa pemerintahan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sudah sangat jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Ummat Islam pada masa pemerintahan Abu Bakar dan Umar Ibnu Khattab masih bersatu, mereka mempunyai banyak tugas yang harus diselesaikannya, seperti tugas melakukan perluasan wilayah Islam dan sebagainya. Selain itu, kehidupan masyarakat Islam masih sangat sederhana sebab belum banyak terpengaruh oleh kemewahan duniawi, kekayaan dan kedudukan.
Namun pada masa pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan keadaan mulai berubah. Perjuangan pun sudah mulai terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat duniawi. Oleh sebab itu, beban yang harus dipikul oleh penguasa selanjutnya semakin berat. Usaha-usaha Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib dalam mengatasi persoalan itu tetap dilakukannya, walaupun ia memperoleh tantangan yang sangat luar biasa. Semua itu memiliki tujuan agar masyarakat merasa aman, tentram dan sejahtera. Usaha-usaha yang dilakukannya diantaranya :

a. Mengganti Para Gubernur yang diangkat Khalifah Usman Ibnu Affan
Semua gubernur yang diangkat oleh Khalifah Usman Ibnu Affan terpaksa diganti, sebab banyak masyarakat yang tidak senang. Menurut pengamatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, para gubernur inilah yang menyebabkan timbulnya berbagai gerakan pemberontakan pada pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan. Mereka melakukan itu sebab Khalifah Usman pada paruh kedua masa kepemimpinannya tidak mampu lagi melakukan kontrol pada para penguasa yang berada dibawah pemerintahannya. Hal itu disebabkan sebab usianya yang sudah lanjut usia, selain para gubernur sudah tidak lagi banyak yang mempunyai idealisme untuk memperjuangkan dan mengembangkan Islam. Pemberontakan ini pada akhirnya membuat sengsara banyak rakyat, sehingga rakyatpun tidak suka pada mereka. Berdasarkan pengamatan inilah lalu Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mencopot mereka. Adapun para gubernur yang diangkat Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sebagai pengganti gubernur lama yaitu; Sahl Ibnu Hanif sebagai gubernur Syria, Sahl Ibnu Hanif sebagai gubernur Syriah, Usman Ibnu Affan sebagai gubernur Basrah, Umrah Ibnu Syihab sebagai gubernur kuffah, Qais Ibnu Sa'ad sebagai gubernur Mesir, Ubaidah Ibnu Abbas sebagai gubernur Yaman.

b. Menarik kembali tanah milik negara
Pada masa pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan banyak para kerabatnya yang diberikan fasilitas dalam berbagai bidang, sehingga banyak diantara mereka yang lalu merongrong pemerintahan Khalifah Usman Ibnu Affan dan harta kekayaan negara. Oleh sebab itu, saat Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menjadi Khalifah, dia memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikannya. Beliau berusaha menarik kembali semua tanah pemberian Usman Ibnu Affan kepada keluarganya untuk dijadikan milik negara.

Usaha itu bukan tidak memperoleh tantangan. saat Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib banyak memperoleh perlawanan dari para penguasa dan kerabat mantan Khalifah Usman Ibnu Affan. Salah seorang yang tegas menentang saat Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib adalah Muawiyah Ibnu Abi Sufyan. Karena Muawiyah sendiri telah terancam kedudukannya sebagai gubernur Syria. Untuk menghambat gerakan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, Muawiyah menghasut kepada para sahabat lain supaya menentang rencana Khalifah, selain menghasut para sahabat Muawiyah juga mengajak kerjasama dengan para mantan gubernur yang dicopot oleh Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib. Kemudian terjadi perang Jamal, perang Shiffin dan sebagainya.

Semua tindakan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib semata memiliki tujuan untuk membersihkan praktek Kolusi, korupsi dan Nepotisme didalam pemerintahannya. Tapi menurut sebagian masyarakat kalo situasi pada saat itu kurang tepat untuk melakukan hal itu, yang akhirnya Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib pun meninggal ditangan orang-orang yang tidak menyukainya. Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib bekerja keras sebagai Khalifah sampai akhir hayatnya, dan beliau menjadi orang kedua yang berpengaruh setelah Nabi Muhammad Saw.

3. Perkembangan di Bidang Politik Militer
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mempunyai kelebihan, seperti kecerdasan, ketelitian, ketegasan keberanian dan sebagainya. Karenanya saat ia terpilih sebagai Khalifah, jiwa dan semangat itu masih membara didalam dirinya. Banyak usaha yang dilakukan, termasuk bagaimana merumuskan sebuah kebijakan untuk kepentingan negara, agama dan umat Islam kemasa depan yang lebih cemerlang. Selain itu, ia juga terkenal sebagai pahlawan yang gagah berani, penasihat yang bijaksana, penasihat hukum yang ulung, dan pemegang teguh tradisi, seorang sahabat sejati, dan seorang kawan yang dermawan.
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib sejak masa mudanya amat terkenal dengan sikap dan sifat keberaniannya, baik dalam keadaan damai mupun saat kritis. Beliau amat tahu medan dan tipu daya musuh, ini kelihatan sekali pada saat perang Shiffin. Dalam perang itu Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mengetahui benar bahwa siasat yang dibuat Muawiyah Ibnu Abi Sufyan hanya untuk memperdaya kekuatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menolak ajakan damai, sebab dia sangat mengetahui bahwa Muawiyah adalah orang yang sangat licik. Namun para sahabatnya mendesak agar menerima tawaran perdamaian itu. Peristiwa ini lalu dikenal dengan istilah "Tahkim" di Daumatul Jandal pada tahun 34 Hijriyah. Peristiwa itu sebenarnya adalah bukti kelemahan dalam system pertahanan pada masa pemerintahan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib. Usaha Khalifah terus memperoleh tantangan dan selalu dikalahkan oleh kelompok orang yang tidak senang pada kepemimpinannya.

Karena peristiwa "Tahkim" itu, timbullah tiga golongan dikalangan umat Islam, yaitu Kelompok Khawarij, Kelompok Murjiah dan Kelompok Syi'ah (pengikut Ali). Ketiga kelompok itu yang pada masa selanjutnya adalah golongan yang sangat kuat dan yang mewarnai perkembangan pemikiran dalam Islam.

4. Perkembangan di Bidang Ilmu Bahasa
Pada masa Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, wilayah kekuasaan Islam telah sampai Sungai Efrat, Tigris, dan Amu Dariyah, bahkan sampai ke Indus. Akibat luasnya wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat yang bukan berasal dari kalangan Arab, banyak ditemukan kesalahan dalam membaca teks Al-Qur'an atau Hadits sebagai sumber hukum Islam.
Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib menganggap bahwa kesalahan itu sangat fatal, terutama bagi orang-orang yang akan mempelajari ajaran islam dari sumber aslinya yang berbahasa Arab. Kemudian Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duali untuk mengarang pokok-pokok Ilmu Nahwu ( Qawaid Nahwiyah ).

Dengan adanya Ilmu Nahwu yang dijadikan sebagai pedoman dasar dalam mempelajari bahasa Al-Qur'an, maka orang-orang yang bukan berasal dari masyarakat Arab akan mendaptkan kemudahan dalam membaca dan memahami sumber ajaran Islam.

5. Perkembangan di Bidang Pembangunan
Pada masa Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib, terdapat usaha positif yang dilaksanakannya, terutama dalam masalah tatakota . Salah satukota  yang dibangun adalahkota  Kuffah.

Semula pembangunankota  Kuffah ini bertujuao politis untuk dijadikan sebagai basis pertahanan kekuatan Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib dari berbagai rongrongan para pembangkang, misalnya Muawiyah Ibnu Abi Sufyan. Akan tetapi, lama kelamaankota  itu berkembang menjadi sebuahkota  yang sangat ramai dikunjungi bahkan lalu menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan keagamaan, seperti perkembangan Ilmu Nahwu, Tafsir, Hadits dan sebagainya.

Pembangunankota  Kuffah ini dimaksudkan sebagai salah satu cara Khalifah Ali Ibnu Abi Thalib mengontrol kekuatan Muawiyah yang sejak semula tidak mau tunduk pada perintahnya. Karena letaknya yang tidak begitu jauh dengan pusat pergerakan Muawiya Ibnu Abi Sufyan, maka boleh dibilangkota  ini sangat strategis bagi pertahanan Khalifah.

sumber :
dkm-alfurqon.blogspot.com
harismubarak.blogspot.com





اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Saudara muslimku calon penghuni sorga, kali ini kita akan membahas tentang Kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan r.a. . Semoga artikel ini bermanfaat, aamiin.

Kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan r.a.


Utsman bin Affan r.a. (576-656 M), salah satu shahabat Nabi Muhammad dan dikenal sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga (memerintah 644-656 M/23-35 H). Nama lengkap beliau adalah Utsman bin Affan Al-Amawi Al-Quarisyi, berasal dari Bani Umayyah. Lahir pada tahun keenam tahun Gajah. Kira-kira lima tahun lebih muda dari Rasullulah Saw. Nama panggilannya Abu Abdullah dan gelarnya Dzunnurrain (Pemilik dua cahaya) sebab ia menikah dengan dua orang putri Nabi Muhammad Saw. yang bernama Ruqayyah dan Ummu Kultsum.

Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagi salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam tim penulis wahyu yang turun dan pada masa kekhalifahannya al-Qur’an dibukukan secara tertib. Utsman juga adalah salah satu shahabat yang mendapatkan jaminan Nabi Muhammad sebagai ahlul jannah. Kekerabatan Utsman dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah ‘Abdu Manaf. Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Utsman dari kalangan Bani Ummayah. Antara Bani Hasyim dan Bani Ummayah sejak jauh sebelum masa kenabian Muhammad, dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan sengit dalam setiap aspek kehidupan. Maka tidak heran jika proses masuk Islamnya Utsman bin Affan r.a. dianggap adalah hal yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik. Hal ini mengingat kebanyakan kaum Bani Ummayah, pada masa masuk Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam.

Utsman bin Affan r.a. terpilih menjadi khalifah ketiga berdasar suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar bin Khaththab menjelang wafatnya. Saat menduduki amanah sebagai khalifah beliau berusia sekitar 70 tahun. Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.
Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian pakar sejarah untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman itu. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagi alasan motif nepotisme itu adalah seperti berikut ini:


  1. Muawiyah bin Abu Sufyan yang menjabat sebagi gubernur Syam, beliau termasuk shahabat Nabi, keluarga dekat dan satu suku dengan Utsman.
  2. Pimpinan Basyrah, Abu Musa Al Asy’ari, diganti oleh Utsman dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman.
  3. Pimpinan Kuffah, Sa’ad bin Abi Waqqash, diganti dengan Walid Bin ‘Uqbah, saudara tiri Utsman. Lantas Walid ternyata kurang mampu menjalankan syariat Islam dengan baik akibat minum-minuman keras, maka diganti oleh Sa’id bin ‘Ash. Sa’id sendiri adalah saudara sepupu Utsman.
  4. Pemimpin Mesir, Amr bin ‘Ash, diganti dengan Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, yang masih adalah saudara seangkat (dalam sumber lain saudara sepersusuan, atau bahkan saudara sepupu) Utsman.
  5. Marwan bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, diangkat menjadi sekretaris Negara.
  6. Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah, kepada Marwan bin Hakkam, dan juga kepada Harits bin Hakam.


Beberapa penulis Muslim mencoba melakukan rasionalisasi bahwa tindakan Utsman itu bukan tanpa alasan. Hal ini adalah sebuah upaya pembelaan pada tindakan Utsman tidak atau bahkan sama sekali jauh dari motif nepotisme. Sebagai contoh salah satu bentuk rasionalisasi menyebutkan bahwa Utsman mengangkat wali-wali negeri dari pihak keluarga untuk alasan memperkuat wilayah kekuasaannya melalui sisi personal yang telah jelas-jelas dikenal baik karakteristiknya. Hal ini mengingat wilayah kekhilafahan pada masa Utsman bin Affan r.a. saat itu semakin meluas. Demikian juga tanggungjawab dakwah dimasing-masing wilayah itu.

Dalam Manajemen, mengangkat pekerja berdasar kekerabatan bukan hal yang salah. Kemungkinan pengenalan karakteristik anggota keluarga jelas lebih baik dibandingkan melalui seleksi dari luar keluarga. Jika hal itu menyangkut kinerja dan harapan ketercapaian tujuan dimasa mendatang jelas pemilihan bawahan dari pihak keluarga tidak bertentangan dengan sebuah aturan apa pun. Artinya secara mendasar nepotisme sendiri bukan adalah sebuah dosa. Namun demikian kata “nepotisme’ dewasa ini telah mengalami perubahan makna substansial menjadi sebuah istilah yang bermuatan negatif. Bukan hanya bagi Indonesia, namun bagi sejumlah negara “pendekatan kekeluargaan” itu telah menempati urutan teratas bagi kategorisasi “dosa-dosa politis” sebuah rezim kekuasaan dewasa ini.

Oleh sebab itu maka penjelasan bahwa pemilihan anggota keluarga untuk menempati struktur kepemimpinan dalam kasus khalifah Utsman bin Affan r.a. dengan rasionalisasi atas pengenalan karakteristik, jelas kurang relevan diterapkan pada masa ini, meskipun bukan berarti tidak benar. Maka salah satu jalan yang harus dilakukan guna membedah isu seputar nepotisme ini adalah melalui cross check sejarah pada masing-masing anggota keluarga Utsman yang terlibat dalam kekuasaan sebagai alasan Khalifah Utsman mengangkat beberapa keluarga dekatnya dalam struktur jabatan-jabatan publik yang strategis.

Kronologi Pejabat Negara ‘Keluarga’ Khalifah Utsman

Mengetengahkan kembali kronologi seputar pemerintahan Utsman bin Affan r.a., bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif sosial-politik belaka. Lebih dari itu lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah, yang secara politis jelas-jelas telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak terkecuali khalifah Utsman bin Affan r.a.. Oleh sebab itu kesulitan pertama yang harus dihadapi adalah upaya menyaring data-data valid diantara rasionalisasi kebencian dan permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia.

Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman bin Affan r.a. menunjukkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafeta dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini adalah kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran di lautan.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat publik. Di antaranya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar atau Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah itu. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya tidaklah bisa dianggap ringan.

Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan itu didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al-Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengedepankan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. Rakyat Basyrah lalu memilih pimpinan dari golongan mereka sendiri. Namun pilihan rakyat itu justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka lalu secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka lalu khalifah Utsman menunjuk Abdullah bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah itu. Abdullah bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia. Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui penunjukan Abdullah bin Amir itu.

Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah bin Syu’bah sebab beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalahgunaan jabatan dan kurang transparan dalam urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaporkannya kepada pemerintah pusat. Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa itu. Abdullah bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa itu. Perlu diketahui, Abdullah bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad bin Abu Waqqash adalah Walid bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun sebab Walid mempunyai tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah itu terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Utsman bin Affan r.a. lalu mengangkat Sa’id bin ‘Ash, kemenakan Khalid bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, sebab dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan. Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang pada penempatan sepupunya itu. Maka lalu Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame dan konotasi makna negatif kembali sukar dibuktikan.

Sedangkan di Mesir, Utsman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr bin Ash selaku gubernur dan Abdullah bin Sa’ah bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr bin Ash dianggap telah gagal dalam pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr bin Ash menolak perintah khalifah itu dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar). Maka lalu Amr bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah bin Sa’ah bin abu Sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru itu dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes pada khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh di tangan pemberontak yang datang dari Mesir (al-Gafiki).

Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang mempunyai integritas sebagai pejabat negara disamping ia sendiri adalah pakar tata negara yang cukup disegani, bijaksana, berpikiran tajam, fasih berbicara, dan pemberani. Dia ahli dalam pembacaan al-Quran, banyak meriwayatkan hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan dan memubuat alat-alat takaran dan timbangan. Di samping itu Utsman dan Marwan dikenal sebagai sosok yang hidup bersahaja dan jauh dari kemewahan serta tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian pemilihan Marwan bin Hakam adalah keharusan dan kebutuhan negara yang memang harus terjadi serta bukan semata-mata berdasar atas motif nepotisme dalam kerangka makna negatif.

Selain itu tuduhan penggelapan uang negara dan nepotisme dalam pemberian dana al-khumus yang diperoleh dari kemenangan perang di Laut Tengah kepada Abdullah bin Sa’ad Bin Abu Sarah, saudara sepersusuan Utsman (sumber lain saudara angkat), dapat dibuktikan telah sesuai dengan koridor yang seharusnya dan diindikasikan tidak ditemukan penyelewengan apa pun. Al-Khumus yang dimaksud berasal dari rampasan perang di Afrika Utara. Isu yang berkembang terkait al-khumus itu adalah Khalifah Utsman telah menjualnya kepada Marwan bin Al Hakkam dengan harga yang tidak layak.
Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman tidak pernah memberikan al-khumus kepada Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah. Sebagaimana telah diketahui ghanimah (rampasan perang) dalam Islam 4/5-nya akan menjadi bagian dari tentara perang, sedangkan 1/5-nya atau yang dikenal sebagi al-khumus akan masuk ke Baitul Mal. Perlu diketahui jumlah ghanimah dari Afrika Utara yang terdiri dari berbagai benda yang terbuat dari emas, perak, serta mata uang senilai dengan 500.000 dinar. Abdullah bin sa’ad lalu mengambil al-khumus dari harta itu yaitu senilai 100.000 dinar dan langsung dikirimkan kepada khalifah Utsman di ibukota . Namun masih ada benda ghanimah lain yang berupa peralatan, perkakas, dan satwa ternak yang cukup banyak. Al-khumus (20 % dari ghanimah) dari ghanimah yang terakhir itu itulah yang lalu dijual kepada Marwan bin Hakkam dengan harga 100.000 dirham.

Penjualan ghanimah dengan wujud barang dan satwa ternak itu dengan mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi. Al-Khumus berupa barang dan ternak itu sulit diangkut ke ibukota  yang cukup jauh jaraknya. Belum lagi jika harus mempertimbangkan faktor keamanan dan kenyamanan proses pengangkutannya. Kemudian hasil penjualan al-khumus berupa barang dan ternak itu juga dikirimkan ke Baitul Mal di ibukota . Di sisi lain Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah mendapatkan sebagian dari pembagian 4/5 hasil rampasan perang sebab ia telah memimpin penaklukan Afrika Utara itu. Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa 4/5 (atau 80 %) dari ghanimah adalah hak bagi tentara yang mengikuti perang, termasuk diantaranya adalah Abdullah bin Sa’ad bin Abu Sarah. Dengan demikian sebenarnya tidak ada masalah sebab telah sesuai dengan koridor aturan-aturan yang berlaku.
Kemudian khalifah Utsman juga diisukan telah menyerahkan masing-masing 100.000 dirham dari Baitul Mal kepada Harits bin Hakkam dan Marwan bin Al Hakkam. Desas-desus itu pada dasarnya adalah sebuah fitnah belaka. Duduk persoalan sebenarnya adalah khalifah Utsman mengawinkan seorang puteranya dengan puteri Harits bin Hakkam dengan menyerahkan 100.000 dirham yang berasal dari harta pribadinya sebagai bantuan. Demikian juga khalifah Utsman telah menikahkan puterinya yang bernama Ummu Ibban dengan putera Marwan bin Hakkam disertai bantuan dari harta miliknya sejumlah 100.000 dirham.

Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman bin Affan r.a. tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku menjadi berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang adalah hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar ….”.

Dalam khotbahnya itu khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat mengenai kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “Sewaktu aku diangkat menjabat khalifah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, mempunyai ribuan domba dan ribuan onta. Tapi sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.

Kebijakan-kebijakan Khalifah Utsman bin Affan r.a.

1. Administrasi Pemerintahan
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan di daerah, khalifah Utsman bin Affan r.a. mempercayakannya kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau propinsi. Pada masanya wilayah kekuasaan kekhalifahan Madinah dibagi menjadi 10 (sepuluh) propinsi dengan masing-masing gubernur/amirnya, yaitu:
1) Nafi’ bin al-Haris al-Khuza’i, Amir wilayah Makkah;
2) Sufyan bin Abdullah al-Tsaqafi, Amir wilayah Thaif;
3) Ya’la bin Munabbih Halif Bani Naufal bin Abd. Manaf, Amir wilayah Shana’a;
4) Abdullah bin Abi Rabiah, Amir wilayah al-Janad;
5) Utsman bin Abi al-Ash al-Tsaqafi, Amir wilayah Bahrain;
6) Al-Mughirah bin Syu’bah al-Tsaqafi, Amir wilayah Kuffah;
7) Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy’ari, Amir wilayah Basrah;
8) Muawiyah bin Abi Sufyan, Amir wilayah Damaskus;
9) Umair bin Sa’ad, Amir wilayah Himsh; dan
10) Amr bin Ash al-Sahami, Amir wilayah Mesir.

Setiap Amir atau Gubernur adalah wakil khalifah di daerah untuk melaksanakan tugas administrasi pemerintahan dan bertanggungjawab kepadanya. Seorang amir diangkat dan diberhentikan oleh Khalifah. Kedudukan gubernur disamping sebagai kepala pemerintahan di daerah juga sebagai pemimpin agama, pemimpin ekspedisi militer, menetapkan undang-undang, dan memutuskan perkara, yang dibantu oleh katib (sekretaris), pejabat pajak, pejabat keuangan (Baitul Mal), dan pejabat kepolisian.

Sedangkan kekuasan legislatif dipegang oleh Dewan Penasehat atau Majlis Syura, tempat Khalifah mengadakan musyawarah atau konsultasi dengan para sahabat Nabi terkemuka. Majelis ini memberikan saran, usul, dan nasihat kepada Khalifah mengenai berbagai masalah penting yang dihadapi Negara. Akan tetapi pengambil keputusan terakhir tetap berada di tangan Khalifah. Artinya berbagai peraturan dan kebijaksanaan, di luar ketentuan al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dibicarakan di dalam majelis itu dan diputuskan oleh Khalifah atas persetujuan anggota Majelis. Dengan demikian, Majelis Syura diketuai oleh Khalifah.

Jadi, jika Majelis Syura ini disebut sebagai lembaga legislatif, maka dia tidak sama dengan lembaga legislatif yang dikenal sekarang yang mempunyai ketua tersendiri. Namun bagaimanapun, dengan adanya Majelis Syura ini mencerminkan telah adanya pendelegasian kekuasaan dari Khalifah untuk melahirkan berbagai peraturan dan kebijaksanaan. Dari cerminan fungsi ini, Majelis Syura masa kekhalifahan Utsman bin Affan r.a. itu dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif untuk zamannya.

Dengan demikian, Khalifah Utsman sebagaimana pendahulunya tetap melaksanakan prinsip musyawarah dengan mengajak beberapa pihak untuk memecahkan masalah-masalah kenegaraan yang dihadapi. Dia tidak bertindak otoriter dalam memerintah bahkan sangat lunak dalam bertindak yang justru dikemudian hari menjadi boomerang bagi dirinya.

2. Perluasan Wilayah Islam
Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwasanya Utsman harus bekerja lebih keras lagi dalam mempertahankan dan melanjutkan perjuangan panji Islam sebab berbagai ancaman dan rintangan semakin berat untuknya mengingat pada masa sebelumnya telah tersiar tanda-tanda adanya negeri yang pernah ditaklukkan oleh Islam hendak berbalik memberontak padanya. Namun demikian, walaupun di sana-sini banyak kesulitan beliau sanggup meredakan dan menumpas segala pembangkangan mereka, bahkan pada masa ini Islam berhasil tersebar nyaris ke seluruh belahan dunia mulai dari Anatolia, dan Asia kecil, Armenia, Kaukus, Bulukhistan, Afganistan, Azarbaijan, Kurdistan, Heart, Tus, Naisabur, Samarkand, Tashkent, Turkmenistan, Khurasan dan Thabrani Timur hingga Timur Laut seperti Libya, Aljazair, Tunisia, Maroko dan Ethiopia. Maka Islam lebih luas wilayahnya jika dibandingkan dengan Imperium sebelumnya yakni Romawi dan Persia sebab Islam telah menguasai nyaris sebagian besar daratan Asia dan Afrika.

3. Pembentukan Armada Laut Islam Pertama
Ide atau gagasan untuk membuat sebuah armada laut Islam sebenarnya telah ada sejak masa kekhalifahan Umar Ibn khattab namun beliau menolaknya lantaran khawatir akan membebani kaum muslimin pada saat itu. Setelah kekhalifahan berpindah tangan pada Utsman maka gagasan itu diangkat kembali kepermukaan dan berhasil menjadi kesepakatan bahwa kaum muslimin memang harus ada yang mengarungi lautan meskipn sang khalifah mengajukan syarat untuk tidak memaksa seorangpun kecuali dengan sukarela. Berkat armada laut ini wilayah Islam bertambah luas setelah berhasil menaklukkan tentara Romawi di Cyprus dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 27 Hijrah walaupun harus melewati peperangan yang melelahkan.

4. Pembangunan Sarana-sarana Kepentingan Umum
Kegiatan pembangunan berbagai sarana di wilayah-wilayah kekhalifahan Islam masa pemerintahan Utsman bin Affan r.a. yang luas itu tumbuh pesat. Pembangunan sarana-sarana kepentingan umum itu meliputi pembangunan daerah-daerah pemukiman, jembatan-jembatan, jalan-jalan, mesjid-mesjid, wisma-wisma tamu, serta pembangunankota -kota baru yang lalu tumbuh dengan pesat sebagai sentra perekonomian masa itu.
Jalan-jalan yang menuju ke Madinah dilengkapi dengan berbagai fasilitas bagi para pendatang. Tempat-tempat persediaan air dibangun di Madinah, dikota -kota padang pasir, dan di lading-ladang peternakan unta dan kuda. Pembangunan berbagai sarana kepentingan umum ini menunjukkan bahwa Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah sangat memperhatikan kemaslahatan publik, disamping juga Masjid Nabi di Madinah yang diperluas dari bentuknya semula.

5. Kodifikasi Al-Qur’an
Prestasi tertinggi pada masa pemerintahan Utsman bin Affan r.a. adalah menyusun al-Qur’an standar, yaitu penyeragaman bacaan dan tulisan al-Qur’an, seperti yang dikenal sekarang. Masa penyusunan Al-Qur’an memang telah ada pada masa Khalifah Abu Bakar atas usulan Umar bin Khaththab yang lalu disimpan ditangan istri Nabi Hafsah binti Umar. Berdasar pada pertimbangan bahwa banyak dari para penghafal Al-Qur’an yang gugur usai peperangan Yamamah. Kini setelah Utsman memegang tonggak kepemimpinan dan bertambah luas pula wilayah kekuasaan Islam maka banyak ditemukan perbedaan lahjah dan bacaan pada Al-Qur’an. Inilah yang mendorong beliau untuk menyusun kembali Al-Qur’an yang ada pada Hafsah binti Umar dan menyeragamkannya kedalam bahasa Quraisy agar tidak terjadi perselisihan antara umat dikemudian hari. Seperti halnya kitab suci umat lain yang selalu berbeda antar sekte yang satu dengan yang lainnya.

Khalifah Utsman lalu membentuk suatu badan atau panitia pembukuan al-Qur’an yang terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua panitia dan Abdullah bin Zubair serta Abdurrahman bin Harits sebagai anggota. Tugas yang harus dilaksanakan panitia itu adalah membukukan lembaran-lembaran lepas dengan cara menyalin ulang ayat-ayat al-Qur’an ke dalam sebuah buku yang disebut Mushaf yang harus berpedoman kepada bacaan mereka yang menghafalkan al-Qur’an (huffadz).

Khalifah Utsman mengutus beberapa orang kepercayaannya untuk menyebarkan mushaf Al-Qur’an hasil kodifikasinya yang telah diperbanyak sejumlah lima buah atas persetujuan para sahabat ke beberapa daerah penting antara lain Makkah, Syiria, Kuffah, dan Bashrah, sementara sebuah Mushaf tetap berada di Madinah. Selanjutnya naskah salinan yang ditinggalkan di Madinah ini disebut Mushaf al-Iman. Adapun seluruh mushaf lain yang berbeda dengan naskah Mushaf Al-Iman dinyatakan tidak berlaku lagi oleh khalifah Utsman bin Affan r.a..

Akhir Masa Kepemimpinan Utsman bin Affan r.a.

Enam tahun pertama kepemimpinan Utsman adalah masa yang dipenuhi dengan prestasi penting dan kesejahteraan ekonomi yang tiada duanya, disamping administrasi pemerintahan yang berjalan efektif dan perluasan wilayah yang semakin berkembang pesat mencapai wilayah-wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan di Madinah saat itu.

Tapi pada tahun-tahun selanjutnya, pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a. mulai goyah dan terguncang, berbanding terbalik dengan sebelumnya kondisi serba sulit akibat merebaknya fitnah dan kedengkian musuh-musuh Islam yang diarahkan padanya. Rakyat di beberapa daerah terutana Kuffah, Basrah, dan Mesir mulai melakukan protes pada kebijaksanaan dan tindakan Khalifah yang dinilai tidak adil. Isu sentral yang menjadi pemicu protes dari rakyat adalah adalah masalah pergantian beberapa gubernur dengan orang-orang yang berasal dari sanak kerabat atau keluarga terdekatnya dan masalah penggunaan keuangan negara yang kurang transparan.

Sesungguhnya Khalifah Utsman mempunyai alasan kuat untuk mengganti para gubernur itu. Khalifah Utsman berpegang kepada wasiat khalifah sebelumnya yaitu Umar bin Khaththab yang berwasiat padanya agar dia mempertahankan para pejabat yang diangkat Umar bin Khaththab selama satu tahun. Artinya setelah para pejabat yang diangkat Umar telah bekerja selama satu tahun kepada Utsman, maka Utsman boleh menggantinya.
Klimaks dari krisis kepercayaan rakyat beberapa daerah pada kepemimpinan Utsman bin Affan r.a. sebagai khalifah ditandai dengan timbulnya pemberontakan oleh ribuan orang dari Kuffah, Basrah, dan Mesir yang dating ke Madinah secara bersamaan. Mereka berhasil mengepungkota  Madinah dan rumah kediaman Khalifah Utsman sehingga beliau syahid dengan amat tragis saat sedang membaca al-Qur’an pada jum’at sore 18 Dzulhijjah 35 H.
Utsman bin Affan r.a. mengorbankan jiwanya sebagai “pengorbanan bagi solidaritas Muslimin”. Sebab sebelum dia syahid, dia sempat berkata kepada kaum pemberontak: “adapun perkara maut, aku tidak takut, dan soal mati bagikut hal yang mudah. Soal bertempur, kalau aku menginginkannya, ribuan orang akan dating mendampingiku berjuang. Tapi aku tidak mau menjadi penyebab tertumpahnya darah, meskipun setetespun darah kaum Muslimin”.

Penutup

Berdasarkan kajian di atas telah diketahui bahwa Khalifah Utsman sebagaimana pendahulunya tetap melaksanakan prinsip musyawarah dengan mengajak beberapa pihak untuk memecahkan masalah-masalah kenegaraan yang dihadapi. Dia tidak bertindak otoriter dalam memerintah bahkan sangat lunak dalam bertindak.

Kebijakan-kebijakan pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan r.a. yang berkembang diantaranya dalam: 1) Bidang administrasi pemerintahan, dengan mengangkat para Amir atau gubernur untuk wilayah-wilayah di bawah kekhalifaannya disamping memperkuat kekuasan legislatif yang dipegang oleh Dewan Penasehat atau Majlis Syura, tempat Khalifah mengadakan musyawarah atau konsultasi. Majelis ini memberikan saran, usul, dan nasihat kepada Khalifah mengenai berbagai masalah penting yang dihadapi negara dengan tetap pengambil keputusan terakhir berada di tangan Khalifah sendiri. Artinya berbagai peraturan dan kebijaksanaan, di luar ketentuan al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dibicarakan di dalam majelis itu dan diputuskan oleh Khalifah atas persetujuan anggota Majelis, 2) Perluasan wilayah kekuasaan kekhalifahan Islam hingga mencapai wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan di Madinah, 3) Pembentukan armada laut Islam pertama, 4) Memajukan pembangunan sarana-sarana kepentingan umum sebagai bentuk kepedulian khalifah pada kepentingan publik, serta 5) Usaha menghimpun lembaran-lembaran lepas al-Qur’an dalam upaya kodifikasi dan membukukan al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, yang lalu dikenal sebagai Mushaf Iman.

Isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar. Sebab masing-masing tindakan Utsman telah mempunyai rasionalisasi berdasar kebutuhan zaman yang terjadi serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Selain itu secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme itu setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga itu adalah adalah mayoritas.

sumber : adentatho.blogspot.com





اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَا تُهُ
Saudara muslimku calon penghuni sorga, kali ini kita akan membahas tentang Kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab r.a.. Semoga artikel ini bermanfaat, aamiin.

Kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab r.a.

Masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab r.a. adalah masa ekspansi dan penaklukan besar-besaran. Pantas dikatakan demikian sebab kedaulatan umat Islam meluas sampai mendekati Afganistan dan Cina di sebelah timur, Tunis dan sekitarnya di Afrika Utara di bagian barat, Anatolia dan Laut Kaspia di Utara, dan kawasan Nubia di selatan. Bukan hanya itu, negeri yang ditaklukan pun bukan negeri sembarangan, misalnya negeri Romawi dan Persia yang saat iru sedang berada dalam masa jayanya.

Namun kehebatan umat Islam saat itu tidak semata-mata sebab kehebatan strategi dan keberanian berperang. Tapi juga didukung oleh stabilitas dalam negeri umat Islam yang kondusif. Umar bin Khattab r.a. mampu menciptakan atmosfir pemerintahan yang demokratis, transparan dan penuh ketaatan tehadap Allah SWT. Umar bin Khattab menciptakan sistem pemerintahan yang sebelumnya belum pernah dikenal oleh negeri manapun, termasuk Romawi dan Persia. Umar bin Khattab menciptakan sistem kas Negara (Baitul Maal), sistem penggajian pejabat Negara dan kontrak resminya sebagai pejabat Negara, sistem check and balance antara eksekutif dan yudikatif, dan lain-lain.

Maka pantas setiap penaklukan dan perluasan wilayah tidak menimbulkan konflik baru. Setiap wilayah baru tetap terjaga stabilitas dan integrasinya, sebab sistem dan kontrol baik dari Umar bin Khattab sebagai pemimpin tertinggi Negara.

Perluasan Wilayah kedaulatan

Kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab r.a.Kepemimpinan Umar bin Khattab tidak seorangpun yang dapat meragukannya. Seorang tokoh besar setelah Rasulullah SAW dan Abu Bakar As Siddiq. Pada masa kepemimpinannya kekuasaan Islam bertambah luas. Beliau berhasil menaklukkan Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tripoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.

Dalam masa kepemimpinan sepuluh tahun Umar bin Khattab itulah, penaklukan-penaklukan penting dilakukan Islam. Tak lama sesudah Umar bin Khattab memegang tampuk kekuasaan sebagai khalifah, pasukan Islam menduduki Suriah dan Palestina, yang kala itu menjadi bagian Kekaisaran Byzantium. Dalam pertempuran Yarmuk (636), pasukan Islam berhasil memukul habis kekuatan Byzantium. Damaskus jatuh pada tahun itu juga, dan Darussalam menyerah dua tahun kemudian. Menjelang tahun 641, pasukan Islam telah menguasai seluruh Palestina dan Suriah, dan terus menerjang maju ke daerah yang kini bernama Turki. Tahun 639, pasukan Islam menyerbu Mesir yang juga saat itu di bawah kekuasaan Byzantium. Dalam tempo tiga tahun, penaklukan Mesir diselesaikan dengan sempurna.

Penyerangan Islam pada Irak yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Persia telah mulai bahkan sebelum Umar bin Khattab naik jadi khalifah. Kunci kemenangan Islam terletak pada pertempuran Qadisiya tahun 637, terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Menjelang tahun 641, seseluruh Irak sudah berada di bawah pengawasan Islam. Dan bukan hanya itu, pasukan Islam bahkan menyerbu langsung Persia dan dalam pertempuran Nehavend (642), mereka secara menentukan mengalahkan sisa terakhir kekuatan Persia. Menjelang wafatnya Umar bin Khattab pada tahun 644, sebagian besar daerah barat Iran sudah terkuasai sepenuhnya. Gerakan ini tidak berhenti tatkala Umar bin Khattab wafat. Di bagian timur mereka dengan cepat menaklukkan Persia dan bagian barat mereka mendesak terus dengan pasukan menyeberang Afrika Utara.

Pembentukan Atmosfer Demokrasi

Di awal pembaitannya sebagai khalifah Umar bin Khattab berpidato di depan kaum muslimin, ia berkata:

“Saudara-saudara! Saya hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak sebab segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah saya pun akan enggan memikul tanggung jawab ini.” Lalu dia menengadah ke atas dan berdoa: “Allahumma ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku. Allahumma ya Allah, aku sangat lemah, maka berilah aku kekuatan. Allahumma ya Allah, aku ini kikir, maka jadikanlah aku orang yang drmawan bermurah hati.” Umar berhenti sejenak, menunggu suasana lebih tenang. Kemudian dia berkata: ”Allah telah menguji kalian dengan saya, dan menguji saya dengan kalian. Sepeninggal sahabatku, sekarang saya yang berada di tengah-tengah kalian. Tak ada persoalan kalian yang harus saya hadapi lalu diwakilkan kepada orang lain selain saya, dan tidak ada yang tidak hadir di sini lalu meninggalkan perbuatan terpuji dan amanat. Kalau mereka berbuat baik akan saya balas dengan kebaikan, tetapi kalau melakukan kejahatan terimalah bencana yang akan saya timpakan pada mereka.”

Dalam pidato awal kepemimpinannya itu Umar tidak menempatkan dirinya lebih tinggi dari umat Islam lainnya, justru Umar menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat. Suatu kali Umar berpidato di depan para Gubernurnya: “Ingatlah, saya mengangkat Anda bukan untuk memerintah rakyat, tapi agar Anda melayani mereka. Anda harus memberi contoh dengan tindakan baik sehingga rakyat dapat meneladani Anda.”

Dalam pidato awal itupun Umar menegaskan bahwa semua orang sejajar di mata hukum, bahwa yang berbuat kebaikan akan memperoleh kebaikan dan yang melakukan kejahatan akan dihukum sesuai kadarnya, tidak memandang siapa dan seberapa kaya. Suatu saat anaknya sendiri yang bernama Abu Syahma, dilaporkan terbiasa meminum khamar. Umar memanggilnya menghadap dan dia sendiri yang mendera anak itu sampai meninggal. Cemeti yang dipakai menghukum Abu Syahma ditancapkan di atas kuburan anak itu.

Bukan hanya itu, Umar bin Khattab membuka keran pendapat seluas-luasnya. Umar dengan lapang dada mendengarkan kritik dan saran dari rakyatnya. Suatu kali dalam sebuah rapat umum, seseorang berteriak: “O, Umar, takutlah kepada Tuhan.” Para hadirin bermaksud membungkam orang itu, tapi Khalifah mencegahnya sambil berkata: “Jika sikap jujur seperti itu tidak ditunjukan oleh rakyat, rakyat menjadi tidak ada artinya. Jika kita tidak mendengarkannya, kita akan seperti mereka.” Suatu kebebasan menyampaikan pendapat telah dipraktekan dengan baik.

Umar pernah berkata, “Kata-kata seorang Muslim biasa sama beratnya dengan ucapan komandannya atau khalifahnya.” Demokrasi sejati seperti ini diajarkan dan dilaksanakan selama kekhalifahan ar-rosyidin nyaris tidak ada persamaannya dalam sejarah umat manusia. Islam sebagai agama yang demokratis, seperti digariskan Al-Qur’an, dengan tegas meletakkan dasar kehidupan demokrasi dalam kehidupan Muslimin, dan dengan demikian setiap masalah kenegaraan harus dilaksanakan melalui konsultasi dan perundingan.

Pembentukan Majelis Permusyawaratan dan Dewan Pertimbangan

Musyawarah bukan bentuk pembatasan wewenang khalifah dalam memimpin kaum muslimin seperti dalam pengertian parlemen sekarang ini. Musyawarah dilakukan sebagai upaya mencari ke-ridho-an dan keberkahan Allah dalam setiap pengambilan kebijakan negara. Keputusan tertinggi tetap berada ditangan khalifah.

Nabi saw sendiri tidak pernah mengambil keputusan penting tanpa melakukan musyawarah, kecuali yang sifatnya wahyu dari Allah SWT. Pohon demokrasi dalam Islam yang ditanam Nabi dan dipelihara oleh Abu Bakar mencapai puncaknya pada jaman Khalifah Umar. Semasa pemerintahan Umar telah dibentuk dua badan penasehat. Badan penasehat yang satu adalah sidang umum atau majelis permusyawaratan yang diundang bersidang bila negara menghadapi bahaya. Sifatnya insidental dan melibatkan banyak orang yang mempunyai kompetensi akan masalah yang sedang dibicarakan. Sedang yang satu lagi adalah badan khusus yang terdiri dari orang-orang yang integritasnya tidak diragukan untuk diajak membicarakan hal rutin dan penting. Bahkan masalah pengangkatan dan pemecatan pegawai sipil serta lainnya dapat dibawa ke badan khusus ini, dan keputusannya dipatuhi.

Pembentukan Lembaga Peradilan yang Independent

Selama masa pemerintahan Umar diadakan pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif. Von Hamer mengatakan, “Dahulu hakim diangkat dan sekarang pun masih diangkat. Hakim ush-Shara ialah penguasa yang ditetapkan berdasar undang-undang, sebab undang-undang menguasai seluruh keputusan pengadilan, dan para gubernur dikuasakan menjalankan keputusan itu. Dengan demikian dengan usianya yang masih sangat muda, Islam telah mengumandangkan dalam kata dan perbuatan, pemisahan antara kekuasaan pengadilan dan kekuasaan eksekutif.” Pemisahan seperti itu belum lagi dicapai oleh negara-negara paling maju, sekalipun di zaman modern ini.

Pemisahan wewenang ini menghidupkan check and balance antara eksekutif yang melaksanakan pemerintahan dengan lembaga peradilan sebagai ujung tombak penegakkan hukum. Dengan sistem ini eksekutif tidak dapat meng-intervensi keputusan dan proses hukum yang sedang berjalan, hingga jauh dari budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Maka sesungguhnya, jauh sebelum ada teori mengenai trias politica (Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif), Umar bin Khattab sudah menerapkan hal itu. Cuma perbedaannya Umar tidak menjadikannya sebagai teori, tp Umar menerapkan dalam pemerintahannya. Sebagaimana yang pernah Umar sampaikan di depan kaum muslimin: “Saudara-saudaraku! Aku bukanlah rajamu yang ingin menjadikan Anda budak. Aku adalah hamba Allah dan pengabdi hamba-Nya. Kepadaku telah dipercayakan tanggung jawab yang berat untuk menjalankan pemerintahan khilafah. Adalah tugasku membuat Anda senang dalam segala hal, dan akan menjadi hari nahas bagiku jika timbul keinginan barang sekalipun agar Anda melayaniku. Aku berhasrat mendidik Anda bukan melalui perintah-perintah, tetapi melalui perbuatan.” Umar mendidik rakyatnya dengan perbuatan dan contoh, bukan dengan teori dan kata-kata.

Sistem Monitoring dan Kontroling Pemerintah Daerah

Wilayah kedaulatan umat Islam yang semakin meluas mengharuskan Umar bin Khattab sebagai khalifah melakukan monitoring dan kontroling baik pada gubernur-gubernurnya. Sebelum diangkat seorang gubernur harus menandatangani apa yang dinyatakan yang mensyaratkan bahwa “Ia harus mengenakan pakaian sederhana, makan roti yang kasar, dan setiap orang yang ingin mengadukan suatu hal bebas menghadapnya setiap saat.” Lalu dibuat daftar barang bergerak dan tidak bergerak begitu pegawai tinggi yang terpilih diangkat. Daftar itu akan diteliti pada setiap waktu tertentu, dan penguasa itu harus mempertanggung-jawabkan pada setiap hartanya yang bertambah dengan sangat mencolok. Pada saat musim haji setiap tahunnya, semua pegawai tinggi harus melapor kepada Khalifah. Menurut penulis buku Kitab ul-Kharaj, setiap orang berhak mengadukan kesalahan pejabat negara, yang tertinggi sekalipun, dan pengaduan itu harus dilayani. Bila terbukti bersalah, pejabat itu memperoleh ganjaran hukuman.

Selain itu Umar mengangkat seorang penyidik keliling, ia adalah Muhammad bin Muslamah Ansari, seorang yang dikenal berintegritas tinggi. Ia mengunjungi berbagai negara dan meneliti pengaduan masyarakat. Sekali waktu, Khalifah menerima pengaduan bahwa Sa’ad bin Abi Waqqash, gubernur Kufah, telah membangun sebuah istana. Seketika itu juga Umar memutus Muhammad Ansari untuk menyaksikan adanya bagian istana yang ternyata menghambat jalan masuk kepemukiman sebagian penduduk Kufah. Bagian istana yang merugikan kepentingan umum itu lalu dibongkar. Kasus pengaduan lainnya menyebabkan Sa’ad dipecat dari jabatannya.

Pembentukkan Lembaga Keuangan (Baitul Maal)

Umar bin Khattab menaruh perhatian yang sangat besar dalam usaha perbaikan keuangan negara, dengan menempatkannya pada kedudukan yang sehat. Dia membentuk “Diwan” (departemen keuangan) yang dipercayakan menjalankan administrasi pendapatan negara.

Kas negara dipungut dari zakat, Kharaj dan jizyah. Zakat atau pajak yang dikenakan secara bertahap pada Muslim yang berharta. Kharaj atau pajak bumi dan Jizyah atau pajak perseorangan. Pajak yang dikenakan pada orang non Muslim jauh lebih kecil jumlahnya dari pada yang dibebankan pada kaum Muslimin. Umar bin Khattab menetapkan pajak bumi menurut jenis penggunaan tanah yang terkena. Dia menetapkan 4 dirham untuk satu Jarib gandum. Sejumlah 2 dirham dikenakan untuk luas tanah yang sama tapi ditanami gersb (gandum pembuat ragi). Padang rumput dan tanah yang tidak ditanami tidak dipungut pajak. Menurut sumber-sumber sejarah yang dapat dipercaya, pendapatan pajak tahunan di Irak berjumlah 860 juta dirham. Jumlah itu tidak pernah terlampaui pada masa setelah wafatnya Umar.

Pendapat Umar pada uang rakyatpun sangat keras, Umar berkata: “Aku tidak berkuasa apa pun pada Baitul Maal (harta umum) selain sebagai petugas penjaga milik yatim piatu. Jika aku kaya, aku mengambil uang sedikit sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari. Saudara-saudaraku sekalian! Aku abdi kalian, kalian harus mengawasi dan menanyakan segala tindakanku. Salah satu hal yang harus diingat, uang rakyat tidak boleh dihambur-hamburkan. Aku harus bekerja di atas prinsip kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.”

Dalam penggunaan anggaran kas negara ini, Umar membentuk Departemen-Departemen yang dibutuhkan, contohnya Departemen Kesejahteraan Rakyat, Departemen Pertanian. Departemen Kesejahteraan Rakyat dibentuk untuk mengawasi pekerjaan pembangunan dan melanjutkan rencana-rencana. Di bidang pertanian Umar memperkenalkan reform (penataan) yang luas, hal yang bahkan tidak terdapat di negara-negara berkebudayaan tinggi di zaman modern ini. Salah satu dari reform itu ialah penghapusan zamindari (tuan tanah), sehingga pada gilirannya terhapus pula beban buruk yang mencekik petani penggarap.

Hal Lainnya

Seorang sejarawan Eropa menulis dalam The Encyclopedia of Islam: “Peranan Umar sangatlah besar. Pengaturan warganya yang non-Muslim, pembentukan lembaga yang mendaftar orang-orang yang memperoleh hak untuk pensiun tentara (divan), pengadaan pusat-pusat militer (amsar) yang dikemudian hari berkembang menjadikota -kota besar Islam, pembentukan kantor kadi (qazi), semuanya adalah hasil karyanya. Demikian pula seperangkat peraturan, seperti sembahyang tarawih di bulan Ramadhan, keharusan naik haji, hukuman bagi pemabuk, dan hukuman pelemparan dengan batu bagi orang yang berzina.”

Umar bin Khattab adalah Khalifah yang sangat memperhatikan rakyatnya, sehingga pada suatu saat secara diam-diam dia turun berkeliling di malam hari untuk menyaksikan langsung keadaan rakyatnya. Pada suatu malam, saat sedang berkeliling di luarkota  Madinah, di sebuah rumah dilihatnya seorang wanita sedang memasak sesuatu, sedang dua anak perempuan duduk di sampingnya berteriak-teriak minta makan. Perempuan itu, saat menjawab Khalifah, menjelaskan bahwa anak-anaknya lapar, sedangkan di ceret yang dia jerang tidak ada apa-apa selain air dan beberapa buah batu. Itulah caranya dia menenangkan anak-anaknya agar mereka percaya bahwa makanan sedang disiapkan. Tanpa menunjukan identitasnya, Khalifah bergegas kembali ke Madinah yang berjarak tiga mil. Dia kembali dengan memikul sekarung terigu, memasakkannya sendiri, dan baru merasa puas setelah melihat anak-anak yang malang itu sudah merasa kenyang. Keesokan harinya, dia berkunjung kembali, dan sambil meminta maaf kepada wanita itu dia meninggalkan sejumlah uang sebagai sedekah kepadanya.

sumber : alqassamindonesia.blogspot.com